novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

“Lihatlah, Kawan! Sekarang aku punya seorang anak yang hebat, padahal dia berasal dari negara terbelakang…
segalanya!” celotehnya kacau.

“Eeeh, apakah kamu baik-baik saja?” Paul Van Moorsel, nama lelaki itu, memandangi wajahku lekat-lekat. Dialah satu-satunya yang berani menghampiri dan berkomunikasi denganku. Ia bertanya banyak hal tentang Indonesia, tentang alasanku meninggalkan negeriku dan lain-lain.

“Aku tidak apa-apa,” sahutku pelan, kurasai sesungguhnya Gez tetap mengawasiku dari kejauhan.

“Yah… tidak apa-apa, hanya sedikit tak enak badan. Terima kasih.”

Aku menundukkan kepala dalam-dalam, menatap lantai di ujung kakiku. Cepat-cepat kulindungi pelipisku dengan syal yang menutupi sebagian wajah dan kepalaku. Sepasang kacamata berukuran raksasa juga menclok di wajahku.

Semuanya itu kupakai demi menyembunyikan bilur-bilur ungu, tapak kekerasan yang kuterima selama dua pekan.
“Jangan sungkan, Nyonya, katakan kepadaku kalau kalian butuh sesuatu,” ujar Paul setengah berbisik, kemudian diraihnya tubuh anakku, dan didudukkannya di atas pangkuannya. Anakku berjingkrak kegirangan saat lelaki itu memberinya seraup permen. Aku terharu sekali dengan perhatian yang diberikannya terhadap kami berdua.

Sedangkan yang lainnya bersikap acuh tak acuh, belakangan kutahu juga alasan mereka. Sesungguhnya mereka malas berurusan dengan Gez, mengingat perilakunya yang kasar.

“Mama dan aku… sakit, Om Paul,” gumam anakku dalam bahasa Inggris patah-patah. Jantungku sampai berdetak keras mendengarnya, kuatir diketahui oleh Gez.

Tapi lelaki itu tampak sedang asyik berbincang dan tertawa keras dengan seorang perempuan berambut pirang.

“Aku sudah menduganya,” desis Paul muram. “Kalian mendapat perlakuan… Gez menyakitimu dan anakmu, bukan?”

“Mm, jangan memaksa.” bisikku mencoba menghindar
“Dengar,” dia menundukkan kepalanya di belakang punggung anakku. “Kalian masih memegang dokumen perjalanan?”

Aku menggeleng. Wajah Paul seketika rnengelam.
“Carilah! Kamu harus menemukan dokumen perjalanan kalian. Aku akan berusaha membantu kalian.” Secercah cahaya sekejap membernas dalam gulita hidupku. Titik air mataku bahna terharu. Semula aku mengira takkan pernah ada yang sudi memedulikan kami berdua. Bahkan aku hampir menganggap bangsa ini identik dengan si jahanam.

“Kamu harus secepatnya pergi dari apartemennya.
Laporkan ke polisi!” Paul terus menyemangatiku.

“Yeah… terima kasih,” tangisku merebak dalam dada.
Ketika Paul kemudian tampak lebih akrab dengan anakku, monster yang mulai mabuk itu mendatangi tempat kami.

“Sudah saatnya kita pulang!” dengusnya seraya mencekal tanganku dengan kasar. Bau alkohol meruap dari mulutnya.
Betapa sering hasratku untuk menghabisi nyawanya nyaris tak terbendung lagi, terutama saat menemukannya terkapar mabuk berat. Namun, aku segera disadarkan bahwa ada seorang anak yang menjadi tanggunganku. Bagaimana jadinya anakku jika aku menjadi seorang pembunuh, di negeri asing pula?

“Masih sore, Gez, biarlah mereka…” Moorsel mencoba menahan kami.

“Tak ada yang menanyakan pendapatmu, Moorsel!”
sergahnya galak. Kemudian tanpa melepaskan botol mi numannya,tangannya mencoba menggaet leher anakku hingga minuman beralkohol itu tumpah. Paul bergerak refleks menepiskan tangan Gez, sehingga kepala anakku terhindar dari tumpahan minuman keras itu.

Plaaakkk!

“Aduuuh!” Gez menjerit tertahan. Agaknya pergelangan tangannya ditepis sekaligus dipelintir keras oleh Paul Van Moorsel. Dalam sekejap keributan terjadi, suara Gez yang lantang menghamburkan kata-kata tak senonoh. Kurasa mereka berdua akan berbaku hantam, andaikan tak segera dilerai oleh teman-temannya.

“Neem me niet kwaklijk… sterkte, ya Mevrouw.
(Maafkan aku… kuatkan dirimu, ya Nyonya.)”

Masih kudengar suara anak bungsu aktivis gereja, Moorsel itu, tatkala Gez menggelandangku keluar dari klub.

Simpati seorang Moorsel, meskipun hanya sebatas itu dan nyaris tak berpengaruh apa-apa terhadap keadaan kami, bagiku sungguh berkesan. Keberaniannya menyadarkan diriku bahwa tak semua lelaki di negeri bekas penjajah bangsaku ini seperti Gez. Keberadaannya pun menyadarkan diriku akan pengharapan yang nyaris raib, ditelan kekejian seorang manusia berhati iblis. Malam itu, untuk kesekian kalinya Gez melampiaskan kekejiannya terhadap diriku. Tubuhku melumbruk bagai tak bertulang, tak bersendi, tak bernyawa. Darah berceceran di mana-mana, membasahi sekujur bagian bawah tubuhku. Kutahu sejak itu aku takkan pernah bisa menikmati hubungan intim lagi sepanjang hayatku! Ya Tuhaaan, kusebut nama-Mu dalam keyakinan yang tak tahu lagi apa namanya ini.
Lamat-lamat kutangkap suara isak anakku. Ya, berkat isak tangis belahan jiwaku itulah, diriku masih mampu bertahan, menghabiskan sisa-sisa malam jahanam
Tengah malam menjelang dinihari, tepatnya dua puluh satu hari dalam cengkeraman Gez. Aku sudah bertekad bulat, apapun yang terjadi, kami berdua harus keluar dari tempat yang bagaikan neraka ini. Kulihat anakku sudah terlelap tidur. Sementara Gez tengah keluar untuk mabuk-mabukan. Aku berjingkat mencari dokumen perjalanan milik kami. Aku menyisir dengan sangat cermat setiap laci-laci, lemari pakaian, gudang, basement, seluruh penjuru ruangan.
Tidak juga kutemukan!

“Ya Tuhanku, di mana paspor dan tiket milikku itu?

Kumohon, bantulah aku menyelamatkan diriku dan anakku, Tuhan? Kumohon, bukankah Engkau Maha Pengasih?” lolongku melindap dalam dada.

Saat aku hampir putus asa, mataku sekonyong melihat sesuatu di sudut kamar Gez. Yup, sebuah kotak kecil yang terkunci. Semangatku bangkit kembali, dadaku seketika dipenuhi debar-debar asa. Adakah demikian perasaan ayahku, ketika bersama pasukan pejuang hendak merebut tangsi militer di Cimahi zaman revolusi dahulu? Demikian sempat terlintas dalam benakku, membuat air mataku menitik perlahan.

Aku terus mengotak-atik kunci kotak itu sambil berdoa, menyeru nama Tuhanku, ayahku, ibuku, ka kakku, adik-adikku, seluruh keluarga besarku. Ya, semuanya saja kuseru dalam dadaku. Entah mengapa, seketika itu, sesuatu yang nyaris raib dari benakku muncul kembali. Ya, ternyata aku masih punya keyakinan, bahwa mereka niscaya masih mengingatku, masih mendoakanku, terutama kedua orang tuaku yang mengasihi kami berdua.

Setelah kucoba dengan berbagai nomer serabutan, akhirnya kotak itu terbuka dengan angka-angka kelahiran Gez.
Benar saja, di sinilah agaknya pasporku disembunyikan. Hanya pasporku, sedangkan tiket, seluruh perhiasan dan uang milikku tidak kutemukan.

“Tidak mengapa, biarlah, ini juga sudah bagus,”
gumamku penuh sukacita. Dengan mengucap rasa syukur untuk pertama kalinya, aku mengambil paspor dan kusembunyikan baik-baik di dalam jaket anakku. Sejak bentrok dengan Paul, Gez bersikap hati-hati terhadap anakku. Mungkin karena diancam oleh Paul akan memerkarakannya, apabila diketahuinya dia menyakiti anakku.

“Nak, bangunlah, Cinta,” kuraih tubuh mungil kesayanganku, tanpa menunggu reaksinya lagi secepatnya kukenakan pakaiannya.

“Ke mana kita, Mama?” tanyanya setengah mengantuk saat kutuntun bocah yang malang itu menuju pintu keluar.

“Kita harus pergi dari sini, Nak. Kuatkan dirimu dan hatimu, ya Cintaku, Buah Hatiku,” bisikku meracau seraya membungkuk, sekali lagi kubetulkan kerah jaketnya.

Udara akhir Juli mulai dingin dan aku tak tahu entah apalagi yang bakal menghadang kami di luar sana. Ketika ku baru saja hendak membongkar pintu depan dengan paksa, sebelumnya berhasil kurusak, seketika pintu terkuak.
Sosok yang ingin sekali kubakar hidup-hidup itu, terhuyung-huyung limbung dengan botol minuman keras di tangannya.